Part IV: Liburan Singkat Nonpejabat

Kalau ini sih belum parah dibandingkan dengan kondisi kaki kanan kakak ipar saya. (foto diambil dari www.ahlinyadiabet.com)
Kalau ini sih belum parah dibandingkan dengan kondisi kaki kanan kakak ipar saya. (foto diambil dari http://www.ahlinyadiabet.com)

26 Desember 2013, RSUD dr. Yunus, Bengkulu, jelang Dhuhur

Angkot putih di depan gerbang Bandara Fatmawati bertengger. Cari penumpang. Saya dan keponakan langsung menaikinya, duduk di sebelah supir, “Rumah sakit, Bang!” kata keponakan saya. Yang menyetir hanya mengangguk. Tak lama, angkot pun melesat. Waduh, Bengkulu panas sekali.

Tak sampai 20 menit, angkot telah berada di depan gerbang rumah sakit terbesar di Bumi Rafflesia itu. Saya memang tak langsung ke rumah Teteh, tetapi langsung ke rumah sakit lantaran suami kakak kedua itu sedang dirawat. Diabetes. Entah berapa hari lagi, kata Teteh kaki kanannya akan diamputasi.

Saya tak dapat membayangkan. Penyakit diabetes itu katanya bahaya sekali kalau si penderita tak sigap mencegahnya. Kakak ipar saya ini terkena diabetes karena keturunan dari neneknya, begitu cerita Teteh. Dua kakaknya saja, itu meninggal karena mengidap kelainan metabolik tersebut.

“Eh, jam berapa tadi dari Bandung?” sambut Teteh di ruang Melati rumah sakit, tempat sang suami dirawat begitu saya mengucap salam. “Tadi malam jam dua belas, Teh!” Kedua mata saya menyisir ruangan. Di pojok kanan itu, Kak Ton terbaring dengan dampal kaki kanan dibalut perban hingga mata kaki.

Selang infus masih bersambung dengan tangan kiri kakak ipar saya. Air infus saya lihat tak sampai setengah lagi. Waduh, badan suami teteh saya dagingnya entah ke mana. Keropos. Kurus. Saya tak menyangka badannya bisa habis seperti itu. Diabetes…diabetes… ganasnya dikau.

“Operasinya gak jadi. Tadi pagi Teteh sudah bolak-balik tanda-tangan membatalkan surat pernyataan amputasi. Kata Kak Ton, gak usah kakinya dipotong, katanya sejak kemarin sudah bisa digerakkan. Makanya tadi pagi Teteh membatalkan amputasi,” ucap Teteh saat saya letakkan tas gendong di pojok ruangan.

Seminggu lalu, kata Teteh saya, kakak ipar saya ini menyanggupi lahir batin kaki kanan yang membusuk itu silakan diamputasi. Kalau tak dipotong, ucap Teteh mengutip omongan dokter, luka di kaki bisa merambat ke atas. “Memang ini kayak buah si malakama. Dipotong risiko gak dipotong juga risiko,” lontar kakak saya seminggu lalu.

Teteh bilang lagi, bahwa biaya amputasi tak murah. Untungnya, Teteh saya memanfaatkan Askes, jadi ada potongan harga. “Kemarin Teteh sudah tanda tangan buat amputasi dengan biaya Rp. 2 juta. Biaya segitu buat nyewa gergaji dan lain-lain, karena rumah sakit ini gak punya alat pemotong,” celoteh Teteh.

Rumah sakit segagah dan sebesar itu, gergaji buat mengamputasi saja harus menyewa ke tempat lain? Bagaimana dengan rumah sakit yang kelasnya di bawah RSUD dr. Yunus? Tapi, tak apalah, bukan itu masalahnya. Yang penting lancar, mau pinjam sana kek beli dulu kek, itu terserah rumah sakit.

“Makanya, sebentar lagi kita pulang dari rumah sakit ini. Ini Teteh udah beres-beres. Nanti tolong Teteh, ya, San. Carikan alamat Klinik Insani. Kata teman Teteh, klinik ini khusus untuk perawatan luka  diabetes, katanya bagus di sana. Soalnya, besok perban di kaki Kak Ton harus dibuka untuk dibersihkan.”

Saya belum tahu persis seberapa parah luka di kaki kanan kakak ipar saya itu. “Jempol dan jari kaki lainnya udah gak ada, hilang karena membusuk, ” begitu Teteh saya menjelaskan. Saya agak merinding tatkala mendengar Teteh bicara. Beruntunglah kaki saya utuh, hati saya membersit.

10 hari Teteh dan keluarga nginap di rumah sakit yang tak jauh dari kantor Polda Bengkulu tersebut. Untungnya pula, Teteh bisa menunggui suami secara intens di rumah sakit lantaran sekolah masih libur. “Ayo ah, tolong barang-barang ini bawa. Teteh mau pinjam kursi dorong dulu,” sambung Teteh.

Kami pun pulang dari rumah sakit itu. Teteh dan Kak Ton menumpang mobil kijang saudaranya kakak ipar, sementara saya dan keponakan langsung mencari alamat klinik yang sebelumnya diberikan Teteh ke saya. Pokoknya di daerah Padang Harapan, salah satu kelurahan di Kota Bengkulu.

Alhasil, siang itu saya tak menemukan alamat yang dimaksud, meski saya sudah cek di Mbak Google guna memastikan klinik tersebut ada atau tidak. Saya tanya-tanya ke beberapa orang di sekitar rumah sakit lama, juga tidak tahu. Tetapi akhirnya, saudara kakak ipar tahu alamat klinik itu, dan ternyata sudah pindah alamat. Sit! (bersambung…)