Seribu Satu Gorengan

Inilah kalau sudah di kantor. Sesudah doa pagi, saya tidak langsung duduk di depan meja, tapi ke kantin koperasi, sarapan gorengan yang harganya jadi seribuan, yang awalnya dua ribu dapat tiga. Akhir-akhir ini memang kantin yang dijaga kang Usman itu rada-rada sepi. Entah sebabnya apa, belum begitu jelas.

Ini baru dugaan. Harga satu gorengan jadi seribuan lah yang menyebabkan sebagian karyawan kantor kami enggan beli lagi gorengan kantin. Salah satu kawan kami, Diki pernah usul ke Usman , “Man, kalau bisa harga gorengan jangan seribu satu lah. Terlalu mahal segitu mah. Kayak dulu lagi aja. Yakin bakal rame lagi!”

Saya dengar cerita itu dari mulut Diki seminggu lalu, ketika kami ngobrol sebelum salat Jumat. Saya mengangguk-angguk saja, sembari setuju dengan usulannya, meski, kata pria bertubuh tambun ini, si Usman tidak jawab apa-apa. Mungkin Usman berat juga ingin mengubah harga gorengan ke semula: dua ribu tiga.

Usman pernah ngomong ke saya, bahwa kenaikan harga gorengan di kantin koperasi yang dikelolanya, bukan kehendak dia, melainkan pasar. “Bensin, kan naik! Wajar kali naik jadi seribuan! Apalagi gorengan ini titipan orang.” Begitulah keadaannya. Bensin naik, maka semua kebutuhan pokok, pasti ikut naik, termasuk gorengan!

Satu, dua pelanggan kantin Usman, khusus penyuka gorengan, perlahan menarik diri. Saya pun hampir enggak mau lagi beli gorengan di kantin itu dan lebih memilih gorengan si teteh di seberang kantor: dua ribu tiga, meski tidak berlangsung lama, dan tetap saja, karena kebiasaan, saya tetap ke kantin Usman lagi. Ajaibnya, saya tidak merasakan berat untuk membayar gorengan seribuan itu. Sudah biasa!

Seiring waktu, kini kantin Usman rame lagi. Dan gorengan yang biasanya enggak abis pascakenaikan harga, eh saya lihat beberapa minggu ini ludes juga, termasuk hari ini. Nah, apakah harga gorengan di kantin Usman akan naik lagi suatu saat? Bisa naik, dan tidak yakin akan turun!

Ayo ke kantin Usman! Murah, kok!