Siapa saja bisa menjadi korban pengeroyokan gerombolan bermotor, termasuk anggota TNI! Gak percaya? Nih, beritanya, yang barusan saya baca: ini dia. Begitu saya lihat foto tempat pengeroyokan, eh, ternyata pernah saya lewati beberapa hari lalu sepulang dari Cianjur.
Jadi males untuk keluar malam kalau kayak gini. Dan jadi terus was-was hati ini dibuatnya. Jangan-jangan. Jangan-jangan. Jangan-jangan kalau saya keluar malam, nanti gerombolan bermotor memepet motor saya dan saya diperdaya oleh mereka. Ih, ngeri juga, ya. Imajinasi saya udah ke mana-mana, walau saya terus meminta kepada Tuhan, tolong hindarkan saya dari kejahatan mahluk-Nya.
Ah, tapi saya juga suka pasrah! Sebab, apa gunanya saya takut terus-menerus. Kalau saya takut terus, nanti saya mengurung diri di kos dan gak bisa jalan-jalan. Mungkin, yang harus saya hindari adalah bermotor di atas pukul 22.00. Kalau di bawah pukul segitu rasanya masih aman. Ini prediksi saya saja, sebab, kejahatan memang suka tak terprediksi kapan terjadi dan siapa mereka.
Sebaiknya, jika tak ada urusan penting, ya udahlah, mening tidur dengan manis di rumah atau kosan, daripada keluyuran gak jelas berkeliling Kota Bandung atau perbatasannya. Kota ini rawan, Guys! Rawan! Kadang saya juga suka mikir kalau tiba-tiba saya diadang gerombolan bermotor, maka saya akan bilang, itu pun kalau sempat, “Saya gak punya apa-apa. Saya tidak mungkin melawan kalian. Kalau mau motor, nih ambil motor saya dan biarkan saya di sini…”
Duh, gak tahu lah. Saya juga suka bingung, kenapa saya suka berpikir seperti itu. Ini mungkin saking sebelnya saya dengan orang-orang yang tega (bukan hanya terhadap gerombolan bermotor) menganiaya bahkan melenyapkan nyawa seseorang dengan cara yang tidak wajar! Namun, saya menyadari, oh, kejahatan memang harus ada, sebab lawan kejahatan adalah kebaikan!
Bagaimana memberantas gerombolan bermotor yang tak santun? Ah, saya gak tahu, sebab, kasus seperti yang dialami Pratu Galang, sebelumnya pun sudah pernah terjadi, baik di Kota Bandung maupun luar Bandung!
Udahlah! Serahin saja sama Tuhan semuanya kalau gitu. Dan semoga, gerombolan bermotor perlahan tobat dan korban pun semakin sedikit. Apalagi, pemerintah dan aparat, tampaknya belum mampu membuat warganya nyaman seutuhnya!
Saya tak menyangka kalau di Jawa Barat masih saja ada jalan yang mirip dengan kubangan kerbau atau tempat lewat para babi hutan. Padahal, provinsi yang beribukota di Bandung itu merupakan daerah penyangga ibukota. Kalau begitu, siapa yang bertanggungjawab terhadap pembangunan infrastruktur jalan untuk menembus kota/kabupaten di sekitar Jabar?
Ya, pemerintah, dong! Baik pusat maupun daerah. Pemerintah harus jeli terhadap kondisi wilayah masih-masing, utamanya mengenai akses jalan. Sebab, infrastruktur jalan menjadi faktor utama majunya sebuah daerah. Jalan jelek, ya daerah bersangkutan akan terpuruk, terisolasi, dan bahkan dicap sebagai daerah primitif! Mau disebut begitu?
Selatan Cianjur adalah salah satu daerah yang terpinggirkan. Ia termasuk wilayah yang luput dari perhatian pemegang kebijakan di negeri ini. Pemerintah, lebih banyak berfokus pembangunannya di daerah perkotaan, tanpa menyentuh wilayah-wilayah perdesaan. Dan, ini hampir terjadi, bukan saja di Jabar, tetapi di wilayah lain di Indonesia.
Orang-orang kita lebih banyak termakan janji para politisi atau calon gubernur/wakil gubernur pada saat masa kampanye. Mereka selalu bilang,”Saudara-saudara, jika kami terpilih, maka jalan menuju ke kecamatan ini, desa ini licin oleh aspal. Pokoknya, pembangunan jalan menjadi prioritas kami!”
Dua minggu sebelum memasuki puasa kemarin, atau akhir Juni lalu-saya bekesempatan jalan-jalan ke Cianjur Selatan, tepatnya di Kecamatan Cikadu, Desa Sukamulya, Kampung Sukasari. Saya ke sana bersama seorang kawan, yang juga asli orang sana.
Awalnya, saya mengajak teman itu untuk lewat Cianjur kota saja. Tetapi, ia menjawab,” Lewat Cianjur Kota lebih jauh, Bro! Mungkin bisa lebih dari 7 jam. Kita lewat Ciwidey saja. Cepat lewat sana, pake motor sekitar 2 jam tembus! Tapi, harus tahan, jalannya itu, Bro! Jelek, batu-batu sebesar kepala di jalan!”
Oke. Saya nurut saja. Yang penting, petualangan saya tidak batal. Apalagi, sejak 3 tahun lalu keinginan saya untuk ke sana selalu batal karena alasan tertentu. Dan, Juni lalu itu perjalanan dimulai.
Selepas Dhuhur kami bergerak dari bundaran Cibiru, Kota Bandung dengan menggunakan sebuah motor Supra Fit yang mulai renta, namun nafasnya masih kuat. Mendung saat itu memang hampir saja membatalkan niat kami. Mendungnya bukan biasa, hitamnya banget pokoknya.
Saya berseloroh, barangkali ini mendung sebagai pembuka akan datangnya bulan ampunan, yaitu bulan Ramadan. Tak ayal, perjalanan dipercepat, gas motor diperkencang. Maklum, kalau hujan di tengah jalan, kami takut. Jas hujan tak punya.
Alhasil, ternyata pasukan hujan lebih cepat larinya dibandingkan motor yang kami tumpangi. Saat di jalan berkelok-kelok nan asri di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung, gulungan hujan menampar-nampar punggung kami. Karen ribuan tetes hujan lebih agresif, maka kami menghentikan kendaraan di sebuah warung di pinggir jalan untuk berteduh. Sekitar 20 menit kami di sana. “Sudahlah, kita nginap dulu saja di rumah saya di Ciwidey, ke Cianjur-nya besok pagi. Cuacanya enggak mendukung, takut di tengah hutan nanti motor ini macet!” lontar kawan itu.
Hujan mulai reda, tapi rintik-rintiknya masih saja centil. “Hayu ah, teruskan saja ke Cianjur! Tanggung, baju-celana udah basah, Bro!” kata saya sambil menaiki motor. Akhirnya, kami teruskan perjalanan menuju Cianjur. Kebun-kebun teh yang ribuan hektar milik orang Eropa dan India itu kami lewati.
Hujan masih saja merintik, sementara kami basah kuyup. Jalanan di sekitar kebun teh terjal, kerikil membahana. Karena kawan ini tadi sudah terbiasa lewat jalan ini, ia seperti piawai menjalankan motornya. Yang paling dirugikan itu saya yang dibonceng. Buntut/bujur/burit saya pegal bukan kepalang!
Kami sampai lah di daerah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. “Tenang, Bro, tinggal 15 kiloan lagi dari sini.” Yang amat disayangkan itu, saya tak bisa mengabadikan perjalanan kami dengan memotret. Padahal, hape saya aktif dan belum mati.
Bukan kenapa-kenapa, hujan deras itu yang jadi penghalangnya. Kalau dipaksakan, takut nanti gadget saya rusak kena air. Ya udah, saya hanya rekam saja lewat memori otak. Barangkali saja, saat pulang nanti dari Cianjur, keadaannya tidak seperti ini, tapi bercuaca cerah! Semoga ya, Tuhan!
Tak bisa dibayangkan, 15 kiloan yang dikatakan kawan tadi, menurut saya bulsit alias bohong! Saya menganggap, omongannya itu sebagai penghibur lara buat saya. Oh, ternyata, perkiraan saya bukan 15 kilo lagi, tapi lebih dari itu. Atau, apakah ini perasaan saya saja yang berlebihan?
Entah lah, saya enggak bisa mikir saat itu. Dinginnya minta ampun, deh! Rasanya, semuanya jadi teringat: emak-apak di rumah, ade-kakak, ponakan, sahabat, dan keluarga lain. Intinya, sepertinya saya mau mati saja sore menjelang magrib di tengah hutan itu.
Entah berapa jam lagi menuju rumah kawan saya ini. Pas di tengah-tengah hutan, di jalan nan berlumpur-berkubang itu, mesin motor mati. Gubrakkk! Saya rasa ini bermasalah dengan busi motornya. Businya kena cipratan air di sepanjang jalan. Dicoba dihidupkan, mati lagi. Dihidupkan, eh, mati lagi.
Maunya apa, sih motor ini? Ya, Allah, tolong kami. Begitu, segenap permohonan yang coba saya lantunkan di tengah-tengah rintik hujan, di antara belantara hutan, juga di tengah ketakutan. Kalau ada harimau atau hantu hutan, gimana, coba?
Untungnya, motor kawan saya ini stabil lagi, meski harus beberapa kali berhenti karena mesin mati. Jelang magrib, kami sampai juga di sebuah persimpangan jalan. Oleh kawan saya, motor ia belokkan ke kiri, ke sebuah rumah bertingkat yang berwarung. Ya, itulah kediamannya.
Asyik! Saya tenang sekarang. Saya bisa ganti pakaian yang tadi kuyup. Lantas bisa menyeduh ginseng, menyantap nasi khas Cikadu, dan seabrek makanan/minuman lainnya. Bukan sekedar angan-angan, yang saya pikirkan itu nyatanya disuguhkan juga! Thanks before! Dua hari saya bermukim di rumah itu. Puas!
Entah hari apa, persisnya saya lupa. Dalam perjalanan pulang ke Bandung (masih lewat jalan semula), kondisi jalan saya abadikan lewat kamera ponsel. Ini dia hasilnya. KLIK! Apalagi, ibu kawan saya itu, sebelum kami beranjak pulang, ia sempat bilang,”Kalau bisa nanti tolong foto jalan rusak itu, ya. Tolong kirimkan ke koran. Biar tahu, susahnya warga transmigrasi di sini kalau harus ke Bandung atau ke Cianjur kota. Kalau jalannya begitu terus, gimana kami mau mengangkut hasil bumi untuk dijual ke pasar! Tolong, ya!” katanya.