Saya Pilih Nomor Dua

Foto diambil dari: www.poskotanews.com
Foto diambil dari: http://www.poskotanews.com

Saya ngobrol dengan beberapa teman yang juga perantau di Kota Bandung ini. Saya tanya apakah sudah pesan bus, kereta, atau pesawat buat mudik jelang lebaran tahun ini? Salah satu dari mereka, Mas Tarno yang juga seorang supir di sebuah perusahaan bilang, ”Udah boking kereta buat 5 orang ke Ngawi. La sampean?”

Saya katakan saya santai saja, tidak main boking-bokingan. Soalnya, saya jelaskan ke dia, ”Aku udah cek dua bulan lalu di salah satu web yang jual tiket pesawat. Eh, mahal sekali, Mas! Udah 800 ribu ke Bengkulu. Kalau sekarang pastilah udah sejutaan. Jadi mening naik bus aja, deh. Liburannya, kan panjang, jadi pake bus enggak papa.”

Ongkos naik jelang lebaran itu wajar. Enggak usah protes. Terima saja. Pesawat, kereta, atau bus bukan punya saya. Sebagiannya milik swasta. Yang lain milik perusahaan di bawah BUMN. Kalau mau mudik, ya mudik—selagi ongkosnya cukup. Sekira memberatkan, ya udah berlebaran di kos sendirian atau numpang ke rumah teman. Gampang, kan?

Saya sendiri baru akan pesan bus, ya minimal seminggu sebelum berangkat—walau tentu—saya sudah pastikan kursi bus sudah full. Atau, saya mungkin bakal kebagian kursi bernomor jumbo. Enggak mau. Enggak mau. Saya biasa pesan nomor urut 1 atau 2. Posisinya di belakang supir atau kursi nomor 3 atau 4—yang berada persis di sebelah kursi yang ada di belakang supir.

 Kenapa saya begitu ribet, soal kursi bus saja pilih-pilih? Eh, hidup itu pilihan—dan tidak bisa pasrah begitu saja. Sama dengan, ya Pilpres kali ini. Untung cuma ada dua pasangan capes-cawapres. Jadi lebih mudah mengenal mereka—walau sebagian orang masih bingung harus pilih yang mana. Dan, orang pun memiliki alasan kenapa pilih capres A atau B.

Saya pun begitu. Saya lebih suka—entah sampai kapan kalau mudik naik bus, ya akan pilih kursi bernomor muda:  1 atau 2. Dan, hati saya bilang, ”San, kamu nanti pesen kursi nomor 2 saja. Enak soalnya, deket kaca jendela. Kan biasa liat-liat pemandangan. Udah, jangan ragu. Pesen kursi nomor 2, ya.”

Soal nomor—saya kira sangat sensitif akhir-akhir ini. Saya cuma pesan nomor kursi bus nomor 2 saja, saya ini dibilang dukung capres-cawapres yang kebetulan berurut 2: Jokowi-Kalla. Pun, kalau saya pilih kursi bus nomor 1, kemungkinan orang menyangka saya ini pendukung fanatik Prabowo-Hatta. Yo wes, sak karepmu, Le!

Saya hanya berdoa, pas nanti saya pesan bus buat mudik ke kota tercinta saya, Bengkulu—saya beroleh kursi yang saya inginkan: 1 atau 2. Andai kedua nomor urut itu sudah lebih dulu diboking, dengan sungguh-sungguh saya akan berdoa, ”Tuhan, tolong batalkan keberangkatan orang yang sudah pesan kursi nomor 1 atau 2. Soalnya saya ini enggak mau kursi yang lain. Tolong, ya, Tuhan…”

Entah kebetulan atau tidak. Tuhan mengabulkan doa saya. Saya akhirnya bisa dapat kursi bus di belakang supir. Benar, saya tidak sedang membual. Itu terjadi pada mudik tahun lalu. Dan, saya berharap, tahun ini pun akan terulang seperti tahun lalu. Maklum, saking sakralnya bulan puasa, apa yang dimohonkan hamba-Nya tentu tak sulit Tuhan mengabulkannya.

Manu nulis apa lagi? Cukup ah!